AHIMSA BERASAL dari bahasa Sansekrit yang terdiri dari dua kata yaitu “A” dan “Himsa”. Ahimsa biasanya diterjemahkan sebagai tanpa kekerasan. Ahimsa merupakan suatu sifat yang amat khusus dalam terminologi Hindu.
![]() |
Ahimsa Menurut Mahatma Gandhi |
AHIMSA BERASAL dari bahasa Sansekrit yang terdiri dari dua kata yaitu “A” dan “Himsa”. Ahimsa biasanya diterjemahkan sebagai tanpa kekerasan. Ahimsa merupakan suatu sifat yang amat khusus dalam terminologi Hindu. Di satu pihak digunakan sebagai sebuah awalan negatif sebelum sebuah kata, di lain pihak untuk mencoba mengekspresikan arti yang sebaliknya dari sebuah kata yang sama. Secara etimologis, “Himsa” berasal dari “Hims” yang berarti melukai, membunuh, merusak, menganggu dan lain sebagainya. Ahimsa kemudian diartikan sebagai sebuah penolakan atas suatu kehendak untuk membunuh atau melukai.[1]
Ahimsa berarti tidak menyakiti. Tetapi
menurut Gandhi pengertian seperti itu belum cukup. Ia baru sampai pada taraf
permukaan yang paling dangkal dari aspek ahimsa.
Dasar pemikiran ahimsa sudah
diingkari bagi setiap pikiran jahat atau ketergesa-gesaan, berbohong, rasa
benci dan mengharap orang lain celaka. Gandhi menjelaskan bahwa “ahimsa berarti tidak menyakiti insan
mana pun, baik dengan pikiran, ucapan dan tindakan, sekalipun konon untuk
kepentingan insan itu sendiri”.[2]
Untuk menaati ahimsa,
dengan tidak hanya membunuh saja tidaklah cukup, karena bagian aktif dari ahimsa
adalah kasih sayang. Hukum kasih sayang menghendaki perhatian yang sama terhadap
semua kehidupan dari serangga yang paling kecil sampai manusia. Pengikut asas
ini tidak boleh marah sekalipun terhadap pelanggar kesusilaan yang maha berat,
tetapi sebaliknya harus kasih padanya, mendoakan kebaikannya dan melayaninya.[3]
Walaupun harus
kasih kepada orang yang bersalah, tetapi tidak berarti bahwa harus menyerah
pada kesalahan dan ketidakadilan yang dilakukannya. Seorang ahimsaisi harus
menentangnya sekuat tenaga dan harus dengan sabar dan tanpa dendam
memikul penderitaan yang disebabkan oleh pihak pelanggar kepadanya sebagai
imbalan terhadap perlawanannya.[4]
Paham pantang
kekerasan merupakan suatu asas semesta dan pelaksanaannya tidaklah terbatas
hanya pada lingkungan yang saling bermusuhan. Manfaat dari ahimsa hanya
dapat diuji bila diterapkan dalam suatu lingkungan yang ditentang oleh pihak
lawan. Gandhi berkata “paham pantang kekerasan kami hanya akan merupakan suatu
yang hampa dan tidak bernilai, apabila keberhasilannya tergantung pada
kemurahan hati pihak penguasa”.[5]
Syarat bagi
keberhasilan kekuatan ini terletak pada kesadaran adanya jiwa yang terpisah
dari badan manusia dan sifatnya yang kekal. Kesadaran ini berarti suatu
keyakinan yang hidup dan bukan semata-mata suatu keyakinan akal budi.[6]
Pada pantang kekerasan keberanian terletak pada kematian, bukan pada
pembunuhan.[7]
Ahimsa secara harfiah berarti tidak membunuh. Namun
bagi Gandhi kata ini mempunyai makna yang luas sekali serta tidak terukur
jangkauannya. Sebenarnya ahimsa menurut Gandhi berarti bahwa tidak boleh
menyinggung perasaan siapa pun, tidak boleh mempunyai pikiran yang buruk
walaupun terhadap orang yang mungkin menganggap dirinya musuh kita.[8]
Dalam evolusi
manusia, manusia berkembang dari sikap-sikap himsa menuju kedalam praktek-praktek ahimsa. Hal itu dapat kita telusuri dari kehidupan manusia yang
mula-mula hidup nomaden (berpindah-pindah).
Pada masa itu mereka berburu binatang sebagai makanannya. Setelah mereka tahu
bahwa tanah yang mereka injak itu dapat memberi manfaat dan menghasilkan
makanan, mereka mulai menetap dan memerlukan pranata untuk hidup bersama dengan
rukun dan damai. Mereka mulai tahu tentang arti menghormati sesama dan saling
menghargai. Semua itu baru disadari ketika mereka hidup secara sedenter (menetap). Mulai saat itu
pulalah manusia hidup secara ahimsa.[9]
Dalam keadaan
sekarang ini, menurut ajaran Hindu, sebagian dari diri hanya sebagian saja
manusia, sebagian lagi masih berupa binatang. Barulah kemenangan atas
naluri-naluri rendah kita dengan jalan cinta dapat kita matikan
kebinatangannya, satu cita-cita yang juga dinyatakan secara pelambang dalam
nyanyian pertama Bhagawad Gita. Ahimsa, cinta terhadap semua mahluk,
tidaklah semata-mata mengenai manusia, tapi terhadap kehidupan mahluk yang
lebih rendah .
Sastra
kitab-kitab suci dari Hindu mengajarkan bahwa barang siapa menjalankan ahimsa dengan sungguh-sungguh, maka dia
akan melihat dunia di bawah telapak kakinya. Sebegitu dapat merobah batin, maka
serentak berubah pula dunia luar, terhenti bahaya-bahaya, lawan menjadi teman.
Dalam bentuknya yang nyata ahimsa
berarti kemenangan dunia karena cinta dan kasih sayang, kekalahan kejahatan
karena kebaikan.[10]
Menurut
Gandhi, manusia sebagai binatang itu bersifat himsa, tetapi sebagai roh ia bersifat ahimsa. Itulah sebabnya mengapa ahimsa
dapat digunakan sebagai prinsip paling efektif untuk tindakan sosial, karena
secara mendalam sesuai dengan kebenaran sifat alami manusia dan sesuai benar
dengan keinginan bawaannya akan perdamaian, keadilan, ketertiban, kebebasan dan
martabat pribadi. Ahimsa merupakan
jalan untuk mengubah hubungan-hubungan agar terlaksana peralihan kekuasaan
secara damai, dilakukan dengan sukarela tanpa desakan semua yang bersangkutan
oleh karena semuanya mengakuinya sebagai hak.
Pada
prinsipnya, ahimsa merupakan dasar
kelanggengan kehidupan umat manusia, jika tidak antara satu dengan yang lainnya
akan selalu konflik, melukai dan membunuh, maka umat manusia sudah sejak dulu
sirna dari atas muka bumi. Dengan demikian apakah ahimsa sudah sepenuhnya ditaati ? Gandhi menjawab belum, sebab
setiap ada kepentingan remah yang bertentangan, kita sudah memakai
kekerasan.
Oleh karena ahimsa ada di dalam sifat alami manusia
sendiri, maka hal itu dapat dipelajari oleh semuanya, walaupun Gandhi dengan
hati-hati menyatakan bahwa ia tidak mengharapkan setiap orang untuk
mempraktekkan dengan sempurna. Namun semua orang harus bersedia menanggung
resiko dan taruhan bagi ahimsa,
karena kebijakan kekerasan tidak saja telah membuktikan kebobrokannya tetapi
juga mengancam manusia dengan kemusnahan.
Pandangan
Gandhi tentang ahimsa selain telah
didapatkan semenjak kecil dalam kaitannya dengan lingkungan dan agama yang
dipeluknya, pandangannya juga sangat dipengaruhi oleh masa belajarnya ketika
berada di Inggris dan Afrika Selatan berkat seringnya bersinggungan dengan agama-agama
lain.
Bhagavad Gita sebagai kitab suci yang
mengilhami Mahatma Gandhi tentang ahimsa
merupakan bagian dari Mahabharata,
hampir seluruh isinya merupakan percakapan antara Khrisna dan Arjuna yang
merupakan guru dan muridnya.[12]
Ajaran ahimsa terdapat dalam Bhagavad Gita II bagian 19, yang
menjelaskan bahwa tidak ada sesuatu yang membolehkan untuk membunuh atau
dibunuh : “Sesungguhnya ia yang memikirkan diri sebagai pembunuh, dan dia yang
mendapat bahwa ini dapat dibunuh, kedua-duanya adalah bodoh, karena ia tidak
pernah membunuh dan dibunuh”.[13]
Ajaran ahimsa tidak hanya terdapat dalam
kitab-kitab agama Hindu, tetapi juga terdapat dalam agama Buddha. Dalam Buddha
tidak saja melarang membunuh manusia, tetapi mensyaratkan tidak membunuh dan
menyakiti kepada semua mahluk lain, tidak hanya orang yang melakukan perbuatan
yang menerima ganjaran dari perbuatannya, tetapi juga orang yang menyuruh
melakukan pembunuhan itu, orang yang dengan senang hati melihat perbuatan dan
membiarkannya, atau orang yang mengambil untung dari perbuatan itu.
Oleh karena
itu, Buddha melarang keras pengikutnya untuk memakai pakaian dari bahan-bahan
sutera dan kulit. Karena semua itu diambil dengan jalan membunuh mahluk lain
yang hidup. Buddha juga mengajarkan ahimsa
dengan cara mengalahkan kejahatan dengan kebajikan.
Menurut
Mahatma Gandhi, semua agama mengajarkan anti kekerasan. Mahatma Gandhi menyebut
Yesus sebagai raja yang mempraktekkan anti kekerasan. Gandhi memberikan
penghormatannya kepada Yesus dalam kata-katanya :
Though I cannot
claim to be ahimsa Christian in the
sectarian sense, the example of Jesus suffering is ahimsa factor in the composition of my unfying faith in
non-violence, which ruler all my action wordly and temporal…..Jesus lived and
died in vain, if he did not teach us to regulate the whole of life by the
eternal law of love.[14]
Mahatma Gandhi
juga menyatakan bahwa dalam agama Islam pun sikap anti kekerasan atau ahimsa diajarkan. Ia memberikan
kesaksiannya mengenai hal itu, “I have come to the conclusion that the teaching
of the Koran is essentially in favour of non violence. Non violence is better
than violence, it is said in the Koran. Non Violence is enjoined as ahimsa duty; violence is permitted as ahimsa neccesity”.[15]
Dengan
kepatuhan yang luar biasa, ahimsa
juga dijalankan oleh penganut paham Jaina, orang tua Gandhi termasuk penganut
paham ini, sehingga sejak lahir ia telah dididik dan dibesarkan menurut
dasar-dasar agama Jaina dalam suasana menjalankan ahimsa.
Latar Belakang Munculnya Konsep Ahimsa Mahatma Gandhi
Sebagai seorang Barister muda yang haus akan pekerjaan, Mahatma Gandhi pergi ke Afrika Selatan atas permintaan saudagar kaya India yang sedang berselisih. Gandhi diundang sebagai seorang pengacara untuk membantu penyelesaian kasus tersebut. Dari kesempatan ini, Gandhi memulai karirnya sebagai pelayan masyarakat sekaligus terjun untuk pertama kalinya dalam bidang politik ketika ia menjumpai ketidakadilan dan diskriminasi yang diterima dirinya dan orang-orang India yang ada di Afrika Selatan.
Seminggu setelah
kedatangannya di Afrika Selatan, Gandhi diutus untuk menemui pengacaranya dan
membahas kasusnya ke Petroria di Transval. Dia naik kereta api kelas satu
dengan pakaian ala Inggris. Tetapi ia diusir oleh orang Inggris dan petugas
kereta api yang ada di situ dan disuruh untuk pindah gerbong kelas tiga. Ia
menolak dan turun di Maritzburg. Maka ia
menghabiskan malam panjangnya yang dingin itu dengan duduk di ruang tunggu
stasiun. Gandi merenung sambil memikirkan apa yang ia alami. Jiwa mudanya
menginspirasinya untuk bertahan dan harus berjuang bukannya lari atau diam-diam
menelan penghinaan terhadap martabat dan hak asasi seperti itu. Ahirnya ia
beranggapan bahwa malamnya di Maritzburg sebagai suatu titik yang mengubah arah
kehidupannya.[16]
Dalam beberapa hari setelah sampai di Petroria,
barangkali karena penghinaan yang dialami selama perjalanan ia mulai mengadakan
pertemuan-pertemuan yang dihadiri komunitas India di Transval. Dalam pertemuan
ini Gandhi berpidato untuk pertama kalinya di depan publik umum. Gandhi
berbicara tentang diskriminasi rasial yang dilihat dan dialaminya. Dia juga
mendesak para pendengarnya untuk menjalankan bisnisnya secara jujur, mewajibkan
mereka untuk memperbaiki kebiasaan kebersihan mereka dan melupakan perbedaan
agama dan kasta di antara mereka. Para pendengarnya puas dan terkesan dengan
pidato pertamanya Gandhi, sehingga mereka memutuskan untuk membuat pertemuan
serupa setiap minggunya. Dia juga menawarkan kepada komunitasnya untuk mengajar
mereka bahasa Inggris. Meskipun dia datang untuk bekerja sebagai seorang Barister, tetapi dia mulai mengubah
dirinya sendiri menjadi pemimpin dan guru masyarakat.[17]
Gandhi,
negosiator dan penggerak yang tekun dan sabar, menjadi juru bicara bagi
kepentingan para pedagang India. Dia melangkah setapak demi setapak untuk
menemukan obat ketidak adilan, pertama untuk masyarakat elit India, kemudian
untuk seluruh masyarakat termasuk para pekerja kelas rendah mantan budak melalui
perjuangan tanpa kekerasan..
Afrika
Selatan menjadi bumi pembuktian landasan bagi kemunculan Gandhi sebagai
pemimpin utama komunitas India emigran selama dua dekade berikutnya. Hingga
tiba waktunya kembali ke India dia telah
berubah total dalam berpakaian dan tata krama sehari-hari, berpikir dan
berbicara. Gandhi menyebut tahun pertamanya di Afrika Selatan sebagai
pengalaman yang tidak terlupakan dalam hidupnya, kerja publiknya diluncurkan,
dan semangat keagamaannya menjadi tenaga yang hidup[18].
Tokoh-tokoh yang Mempengaruhi Pemikiran Mahatma
Gandhi Tentang Ahimsa
Ajaran-ajaran Bhagavad Gita
sebagai kitab suci agama Hindu yang indah telah berpengaruh dan terserap dalam
cara hidup Gandhi sebagai seorang penganut Hindu. Sering kali bila ia mengalami
tekanan hidup ia mencari hiburan dengan membaca Bhagavad Gita. Baginya, apa yang terkandung dalam Bhagavad Gita sangat menarik karena
banyak menawarkan ajaran moral dalam rangka mencapai kesempurnaan. Bhagavad Gita adalah penuntun kehidupan
rohani, sehingga setiap saat dalam kehidupannya merupakan usaha yang sadar
untuk menghayati kitab Gita ini.[19]
Oleh karena itu tidaklah berlebihan apabila Bhagavad
Gita disebut “mutiara” dari semua aliran dalam Hinduisme.[20]
Ragam
pemikiran Gandhi diwarnai oleh apa yang dialami dalam perjalanan hidupnya.. Dia
amat terkesan dengan Khutbah Di Atas Bukitnya
Yesus Kristus. Ajaran ahimsa Gandhi
sangat dipengaruhi oleh ajaran-ajaran Khotbah
Di Aatas Bukit karena isinya ada kesesuaian dengan Bhagavad Gita dan Uphanisad.
Alkitab merupakan buku referensinya yang paling sering ia kutip kata-katanya.
Dari Khutbah di Atas Bukit ini ia
mempelajari moralitas Kristen, terutama tentang kekuatan cinta kasih. Dia juga
mempelajari kitab suci kaum Muslim, Al-Qur’an, dan kitab suci orang Parsi, Avesta.
Dalam
eksplorasi-eksplorasi agama yang dilakukannya, Gandhi menemukan tulisan-tulisan
tentang ajaran Kristen yang diuraikan oleh Leo Tolstoy. Gandhi terinspirasi
oleh pencarian tiada henti terhadap kesempurnaan dan universalitas cinta. The Kingdom of God is Within You, karya
Tolstoy menguraikan bahwa seluruh pemerintahan didasarkan pada perang dan
kekerasan, dan seseorang bisa menandingi kejahatan-kejahatan ini hanya melalui
perlawanan pasif (resistance passive). Gagasan ini menimbulkan kesan yang sangat
mendalam dalam kehidupan Gandhi.[21]
Dengan The Kingdom of God is Within You
ini Gandhi mendapat dukungan yang meyakinkan atas kepercayaan pada kebenaran
dan tanpa perlawanan, dia juga mendapatkan suatu ungkapan dinamis tentang
keindahan dan kebesaran penderitaan. Penderitaan tidak selalu bersifat dan
bernilai negatif, dengan penderitaan manusia akan terangkat ke taraf keutamaan
yang lebih tinggi. Tolstoy menunjukkan bahwa melalui penderitaan, manusia bisa
membebaskan diri dan menetralisir kekuatan-kekuatan jahat yang ada pada
dirinya.[22]
Gandhi juga
terpengaruh oleh Ruskin. Pada perjalanannya menuju Durban dari Johansburg,
selama dua puluh empat jam ia membaca buku Ruskin yang berjudul Unto This Last, ia sangat tertarik
dengan buku tersebut, karena Ruskin menyatakan bahwa basis kemakmuran
masyarakat yang sebenarnya bukanlah kemakmuran atau kekayaan, sebagaimana yang
diyakini para ekonom klasik, tetapi dari “emas yang tak tampak” (invisible gold) dari persahabatan
manusia.[23]
Ruskin
mensyaratkan kepada manusia agar tidak terjadi ketidak setaraan dan ketidak
adilan sosial untuk meninggalkan kepemilikan, terutama kepemilikan pribadi,
menghormati diri mereka sendiri dengan mengembangkan kebanggaan untuk tidak
saling melukai dan melakukan pencarian terhadap perdamaian secara tenang. Buku
itu membenarkan keyakinan yang sedang tumbuh dalam diri Gandhi bahwa kehidupan
sederhana dari kalangan petani atau para pengrajin adalah kehidupan yang ideal.
Buku itu dalam tahun 1946 menandai titik peralihan dalam hidup Gandhi.[24]
Setelah itu ia memutuskan untuk berdiam di tanah pertani
an dan hidup
secara sederhana.
Buku
lain yang sangat berpengaruh bagi Gandhi bagaimana secara praksis melaksanakan ahimsa dan satyagraha adalah Civil Disobedience karya Henri David
Thoreau. Buku ini membuka mata Gandhi bagaimana ahimsa dapat digunakan dalam menghadapi persoalan-persoalan
politik. Ia juga terkesan oleh kenyataan bahwa manusia tidak pernah dapat
dimasukkan dalam penjara, sebab tidak
ada satu instansi pun yang mampu manahan kehendak seseorang. Thoreau
yakin bahwa kebenaranlah yang akan menang.[25]
Gandhi
mengatakan, “dalam diri Thoreau saya menemukan seorang guru, yang melalui
eseinya telah memberikan konfirmasi ilmiah tentang apa yang telah saya lakukan
di Afrika Selatan, Inggris telah memberikan Ruskin yang tulisannya mengubah
saya dari seorang pengacara dan penghuni kota menjadi seorang yang tinggal di
daerah pedusunan, dan Rusia telah memberikan kepada saya Tolstoy yang telah
meletakkan dasar yang sehat untuk paham pantang kekerasan saya”.[26] ( Fuad Husni Amrulloh)
[1] Toni
Santosa, “Ahimsa dalam Pandangan Mahatma
Gandhi”, Driyarkara, no. 1/ th. XV,
1998, hlm. 46.
[2] Mahatma
Gandhi, Kehidupan Ashram dari Hari ke
Hari, terj. Gedong Bagus Oka, (Denpasar : Yayasan Bali Canti Sena, 1981), hlm. 40.
[3] Ibid., hlm.
106.
[4] Ibid..
[5] Mahatma
Gandhi, Semua Manusia Bersaudara:
Kehidupan dan Gagasan Mahatma Gandhi Sebagaimana Diceritakannya Sendiri,
terj. Kustiniyati Mochtar, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1988), hlm. 103.
[6] Ibid..
[7] Thomas Merton,
Gandhi Tentang Pantang Kekerasan,
terj. A.M Fatwan dan Hasan Basri,
(Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1992), hlm. 39.
[8] Mahatma
Gandhi, Semua Manusia Bersaudara…….…….., hlm. 123.
[9] R. Wahana
Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi,
(Yogyakarta: Penerbit Kanisius, 1986), hlm. 30.
[12] I Gde Sura. Pengendalian Diri dan Etika: dalam Ajaran
Hindu, (Jakarta: Departemen Agama RI,: 1985), hlm. 62.
[13] Cudamani, Pengantar Agama Hindu untuk Perguruan Tinggi,
(Jakarta: Yayasan Dharma Sarathi, 1990),
hlm. 141.
[14] J.
Thekkinedath, Love of Neighbour in
Mahatma Gandhi, (Banglore: St. Paul’s Press Training School, 1971),
hlm.104.
[15] Ibid., hlm. 104.
[16] Ved Mehta., Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi Kesaksian
dari Para Pengikut dan Musuh-musuhnya, terj.
Siti Farida, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), hlm. 203.
[17] Stanley
Wolpert, Mahatma Gandhi: Sang Penakluk
Kekerasan, Hidupnya dan Ajarannya, terj. Sugeng Harianto, (Jakarta: Raja
Grafindo Persada, 2001), hlm. 51.
[18] Ibid., hlm. 52.
[19] R. Wahana
Wegig, “Menyongsong Hari Depan Bersama Gandhi”, …………, hlm. 40.
[20] Wagiyo, M.S,
“Makna Individu dan Masyarakat Menurut Mohandas Karamachand Gandhi dalam
Interaksi Sosial Dewasa ini”, Jurnal
Filsafat, Seri 19, Agustus 1994, hlm
33.
[21] Ved Mehta, Ajaran-ajaran
Mahatma Gandhi…………., hlm 233
[22] R. Wahana
Wegig, Dimensi Etis Ajaran Gandhi ……., hlm. 16.
[23] Ved mehta,
Ajaran-ajaran Mahatma Gandhi………….., hlm. 235.
[24] Louis Fischer,
Mahatma GandhiPenghidupannya dan Pesannya untuk Dunia, terj. Trisno
Sumarjo, (Jakarta: Pembangunan, 1967), hlm. 38.
[25] R. Wahana
Wegig, Dimensi Etis Ajaran
Gandhi……..…..., hlm. 15.
[26] Mahatma
Gandhi, Semua Manusia Berrsaudara……….., hlm. 35.