Menurut M. Quraish Shihab bahwa puasa dalam tinjauan hukum adalah seseorang berkewajiban megendalikan dirinya berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan makan, minum, dan hubungan seks (fa’ali) dalam waktu tertentu, sekaligus berusaha mengembangkan potensinya agar mampu membentuk dirinya sesuai dengan “peta” Tuhan dengan jalan mencontoh Tuhan dalam sifat-sifat-Nya.
Barisannews.com - Menurut M. Quraish Shihab bahwa
puasa dalam tinjauan hukum adalah seseorang berkewajiban megendalikan dirinya
berkaitan dengan kebutuhan-kebutuhan makan, minum, dan hubungan seks (fa’ali)
dalam waktu tertentu, sekaligus berusaha
mengembangkan potensinya agar mampu membentuk dirinya sesuai dengan “peta”
Tuhan dengan jalan mencontoh Tuhan dalam sifat-sifat-Nya.
Hakikat dalam menjalankan puasa sendiri adalah
adanya hal-hal yang harus dibatasi selama melakukan puasa yang mencakup
pembatasan atas seluruh anggota tubuh bahkan hati dan pikiran untuk melakukan
segala macam dosa. Sebab, shiyam atau
shaum pada hakikatnya adalah menahan
atau mengendalikan diri. Karena itu pula
puasa disamakan dengan sikap sabar, baik dari segi pengertian bahasa (keduanya
berarti menahan diri) maupun esensi kesabaran dan puasa.
Sebagaimana Hadits qudsi yang menyatakan antara
lain bahwa; “Puasa untuk-Ku, dan Aku yang memberinya ganjaran”, menurut M. Quraish Shihab dipersamakan
dengan firman Allah dalam surat al-Zumar (39) ayat 10:
“Sesungguhnya hanya orang-orang yang bersabarlah yang disempurnakan pahalanya tanpa batas”. (Q.S. al-Zumar/39:
10)
Menurut Quraish Shihab orang sabar yang dimaksud di
sini adalah orang yang berpuasa. Menurutnya, tidak dapat disangkal bahwa puasa merupakan
suatu kewajiban yang memerlukan kesabaran. Allah dengan segala kemurahan-Nya
bermaksud memberi imbalan bagi yang memenuhi apa yang diwajibkan-Nya itu. Untuk
itu Allah menegaskan kedekatan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, khususnya mereka
yang berpuasa, dan menganjurkan kepada mereka agar dalam berpuasa memperbanyak permohonan dan harapan kepada Allah.
Mengenai tujuan puasa, menurut Quraish Shihab
sebagaimana yang disebutkan dalam al-Qur’an, yaitu la’allakum tattaquun. Untuk
memehami tujuan tersebut perlu
digarisbawahi beberapa penjelasan dari Nabi Saw.
Seperti hadits berikut:
“Banyak di antara orang yang berpuasa tidak memperoleh
sesuatu dari puasanya, kecuali rasa lapar dan dahaga”. (HR. Bukhari)
Menahan diri dari lapar dan dahaga bukan tujuan
utama puasa. Ini dikuatkan oleh al-Qur’an bahwa Allah menghendaki untuk kamu kemudahan
bukan kesulitan.
Selanjutnya Quraish Shihab menyatakan bahwa puasa
merupakan satu ibadah yang unik. Banyak segi keunikan puasa yang dapat
dikemukakan, misalnya; puasa merupakan rahasia antara Allah dan pelakunya
sendiri.
Manusia yang berpuasa dapat bersembunyi untuk minum
dan makan, dan tidak ada yang mengetahui selain dirinya dan Allah. Sebagai
insan, siapa pun yang berpuasa, memiliki keinginan untuk makan atau minum pada
saat-saat tertentu dari siang hari puasa.
Menurut Quraish Shihab ada motivasi menahan diri dari keinginan itu. Tentu bukan
karena takut atau segan dari manusia, sebab jika demikian, dia dapat saja
bersembunyi dari pandangan mereka. Dengan demikian, orang yang berpuasa,
melakukannya demi karena Allah Swt.
dan ini merupakan keunikan tersendiri.
Sementara ada yang berpandangan bahwa orang yang
melakukan puasa dengan berbagai motif,
misalnya sebagai protes sosial, turut belasungkawa, penyucian diri, kesehatan,
dan sebagainya. Namun demikian seseorang yang berpuasa dengan benar, sesuai
dengan cara yang dituntut oleh al-Qur’an, maka pastilah ia akan melakukannya
karena Allah semata.
Taqwa sebagai salah satu tujuan puasa, menurut
Quraish Shihab berarti menghindar, menjauhi, atau menjaga diri. Kalimat
perintah ittaqullah secara harfiah
berarti; “hindarilah, jauhillah, atau jagalah dirimu dari Allah”
Makna takwa tidak lurus bahkan mustahil dapat
dilakukan makhluk. Bagaimana mungkin
makhluk menghindarkan diri dari Allah atau menjauhi-Nya, sedangkan “Dia (Allah)
bersama kamu di mana pun kamu berada”.
Karena itu perlu disisipkan kata atau kalimat untuk
meluruskan maknanya. Misalnya kata siksa, atau yang semakna dengannya, sehingga
perintah bertakwa mengandung arti perintah untuk menghindarkan diri dari siksa Allah.
Siksa Allah sendiri menurut Quraish Shihab ada dua macam;
Pertama, siksa di dunia akibat pelanggaran terhadap
hukum-hukum Tuhan yang
ditetapkan-Nya berlaku di alam raya ini,
seperti “makan berlebihan dapat menimbulkan penyakit. Tidak mengendalikan diri
dapat menjerumuskan kepada bencana, atau api panas dan membakar, dan hukum-hukum
alam dan masyarakat lainnya.
Kedua, siksa
di akhirat, akibat pelanggaran terhadap hukum syari’at, seperti tidak shalat, puasa, mencuri,
melanggar hak-hak manusia, dan lain-lain
yang dapat mengakibatkan siksa neraka.
Selanjutnya, Quraish Shihab berpendapat bahwa
“menghindari siksa atau hukum Allah, diperoleh dengan jalan menghindarkan diri
dari segala yang dilarangnya serta mengikuti apa yang diperintah-Nya. Hal ini
dapat terwujud dengan rasa takut dari siksaan dan atau takut dari yang menyiksa
(Allah Swt). Rasa takut ini pada mulanya timbul karena adanya siksaan, tetapi
seharusnya ia timbul karena adanya Allah Swt (yang menyiksa)”.
Dengan demikian, yang bertaqwa adalah orang yang
merasakan kehadiran Allah S.W.T. setiap saat. Tentu banyak cara yang dapat
dilakukan untuk mencapai hal ini, antara lain dengan jalan berpuasa.
Sisi keunikan lain dari ibadah puasa ini menurut
Quraish Shihab karena sebagai upaya manusia meneladani Allah Swt. Sebab,
hakikatnya beragama merupakan upaya manusia meneladani sifat-sifat Allah,
sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk.
Manusia menurut Quraish Shihab mempunyai
kebutuhan beraneka ragam, dan yang
terpenting adalah kebutuhan fa’ali yaitu makan, minum dan hubungan seks. Allah
Swt. memperkenalkan diri-Nya antara lain sebagai tidak mempunyai anak atau
istri:
“Bagaimana Dia memiliki anak, padahal Dia tidak
memiliki istri …?” (QS. al-An’am/6: 101).
Allah Swtjuga berfirman dalam surat al-Jin ayat 3:
“Dan sesungguhnya Mahatinggi kebesaran Tuhan kami.
Dia tidak beristri dan tidak pula beranak”. (QS. al-Jin/72: 3).
Al-Qur’an juga memerintahkan Nabi Saw untuk
menyampaikan ayat demikian:
“Apakah Aku jadikan pelindung selain Allah yang
menjadikan langit dan bumi padahal Dia memberi makan dan tidak diberi makan …?”
(QS. al-An’am/6: 14).
Dengan berpuasa, manusia berupaya dalam tahap awal
dan minimal mencontoh sifat-sifat Allah tersebut. Tidak makan dan tidak minum,
bahkan memberi makan orang lain (ketika berpuasa), dan tidak pula berhubungan seks,
walaupun pasangan ada.
Menurut Quraish Shihab, tentu saja sifat-sifat
Allah tidak terbatas pada contoh di
atas, tetapi mencakup paling tidak sembilan puluh sembilan sifat yang
kesemuanya harus diupayakan untuk diteladani sesuai dengan kemampuan dan
kedudukan manusia sebagai makhluk Ilahi. Misalnya Maha
Pengasih dan Penyayang, Maha Damai, Maha Kuat, Maha
Mengetahui, dll., sehingga dengan puasa dapat menumbuhkan kepekaan sosial.
Upaya peneladan tersebut menurut Quraish Shihab dapat mengantarkan manusia menghadirkan
Tuhan dalam kesadarannya, dan bila hal itu berhasil dilakukan, maka taqwa dalam
pengertian di atas dapat pula dicapai.
Karena itu, nilai puasa ditentukan oleh kadar
pencapaian kesadaran tersebut, bukan pada sisi lapar dan dahaga, sehingga dari
sini dapat dimengerti mengapa Nabi Saw menyatakan bahwa “banyak orang yang
berpuasa, tetapi tidak memperoleh dari puasanya kecuali rasa lapar dan dahaga.”
Dengan demikian dapat ditegaskan bahwa menurut
Quraish Shihab, ada tiga hikmah yang terkandung dalam puasa, yaitu; untuk
melatih kesabaran sehingga dapat
mengekang nafsu yang menguasai jiwa, untuk memperoleh taqwa atau terhindar dari
perbuatan-perbuatan dosa yang mendatangkan
siksa Allah, dan upaya untuk meneladani sifat-sifat Allah.