17 ramadhan dimana Al-Qur’an pertama kali diturunkan dengan memperingatinya dengan istilah peringatan Nuzulul Qur’an
Barisannews.com - Nuzulul Qur’an merupakan momentum penting yang terjadi pada bulan ramadan, dimana pada bulan tersebut terjadi peristiwa besar yakni diturunkannya Al-Qur’an. Hingga sangat pentingnya momentum peristiwa tersebut, dikalangan masyarakat membuat ritual khusus yakni pada tanggal 17 ramadhan dimana Al-Qur’an pertama kali diturunkan dengan memperingatinya dengan istilah peringatan Nuzulul Qur’an. Berbagai acara digelar dalam memeriahkannya seperti pengajian Nuzulul Qur’an, santunan anak yatim dan dhu’afa maupun peringatan yang lain sebagai upaya untuk mensakralkan peristiwa tersebut.
Namun sangat ironis sekali jika peristiwa tersebut sarat makna dalam artian hanya sekedar peringatan tanpa ada hikmah maupun tujuan yang hendak dicapai dalam kancah peradaban manusia. Padahal kita ketahui, diturunkannnya al-Qur’an untuk pertama kalinya di bulan ramadan menjadi tonggak munculnya syariat baru. Dari sinilah sejarah peradaban manusia mulai dibangun, dimana Rasulullah membawa misi rahmatan lil a’alamin dan surat yang pertama kali turun adalah surat Al-Alaq ayat 1 sampai 5 yakni perintah “iqra” yang berarti membaca.
Apalagi saat ini Indonesia dan bahkan dunia sedang mengalami musibah yang sangat besar dan bisa dikatakan sebagai musibah peradaban yakni pandemi Covid-19 yang telah membunuh ribuan manusia dan bahkan membunuh perekonomian negara. Pandemi Covid-19 yang terjadi pada tahun ini juga, bertepatan dengan ramadan seluruh umat Islam melaksanakan puasa ramadan.
Pola peradaban dan kebudayaan masyarakatpun mulai tergerus dengan sendirinya, mulai dengan saff shalat yang ada jaraknya, bahkan ada beberapa masjid yang tidak menyelenggarakan shalat jum'at maupun ibadah shalat. Begitupun juga dengan kegiatan-kegiatan keagamaan lainnya yang biasa digelar dengan suka cita dan penuh keramaian. Namun kini peradaban manusia di wilayah keagamaan seharusnya memahami makna dibalik ini semua.
Maka jika ingin menguasai dan membangun peradaban yang baru harus dimulai dengan cara padang membaca. Sebagaimana kita ketahui, bangsa Indonesia dalam tingkat membacanya sangat rendah sehingga memunculkan berbagai persolan. Membaca bukan berarti membaca buku, majalah ataupun sumber bacaan lain, melainkan membaca diri dan kehidupan yang dijalaninya.
Sedangkan dalan aspek membaca bangsa Indonesia, menurut data yang dikeluarkan Bank Dunia dan Studi IES (International Association for the Evaluation of Education Achicievement, untuk kawasan Asia Timur. Indonesia berada pada posisi terendah, dibawah negara Filipina, Thailand, Singgapura dan Hongkong. Megitu juga menurut UNDP (United Nations Development Programme), angka melek huruf orang dewasa Indonesia hanya 65,5 persen dari jumlah pendidikan, sedangkan tetangga kita Malaysia sudah mencapai 86,4 persen.
Begitu juga dalam statistika evaluatif tahun 2011 dari dari United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO), bahwa minat baca bangsa indonesia berada pada posisi yang rendah indeks membaca masyatakat hanya 0,0001, artinya dari seribu penduduk hanya ada satu orang yang masih memiliki minat baca tinggi. Hingga pada indeks negara gagal (FSI) 2012, Indonesia menduduki peringkat ke-63 dari 178 negara. Dalam kategori tersebut bangsa Indonesai masuk kategori negara dalam bahaya (in danger) menuju negara gagal. Meski pada tahun 2013 ini menurut Index Pembangunan Manusia (IPM) atau Development Indez (HDI) Indonesia dilaporkan naik peringkatnya, pada tahun 2012 menduduki peringkat 124, sedangkan tahun ini 2013 naik tiga tingkat menjadi urutan ke 121 dari 185 negara. Ranking IPM Indonesia sama dengan IPM negara Afrika Selatan.
Itu masih terkait dengan budaya membaca literasi atau lebih khususnya di ranah buku. Belum membaca kahanan ataupun peristiwa besar pandemi Covid-19 ini. Membaca alam semesta dan seisinya, alam semesta tersenyum kepada kita dimana sejak lama kita telah memberikan polusi kepadanya. Begitupun juga dengan tumbuhan dan binatang sedikit mampu bernafas dengan penuh kesegaran karena aktivitas cerobong besi mulai berkuarang.
Terkait dengan peristiwa nuzulul Qur’an dan data budaya membaca di atas terdapat peran dan tugas manusia. Pada dasarnya terdapat dua asumsi amanah ataupun tanggung jawab manusia yang harus dipertanggung jawabkan kepada Allah. Pertama, manusia adalah hamba Allah yang harus tunduk atas segala perintah Allah. Kedua, manusia adalah pemimpin bumi yang berhak mengatur sekaligus melayani kemakmuran dan kesejahteraan dibumi.
Maka untuk memaknai peristiwa Nuzul Qur’an sesuai asumsi peran dan tugas manusia, tidak cukup hanya melaksanakan peringatan kegiatan Nuzulul Qur’an. Tapi melihat realitas saat ini, bahwa umat Islam khususnya bangsa Indonesia yang kebanyakan penduduknya muslim namun tingkat sumber daya manusia dan tingkat membacanya tergolong rendah. Inilah yang seharusnya menjadi pekerjaan rumah tangga bagi kita semua.
Hingga pada waktunya perlu dipikirkan bagaimana nuzulul qur’an bukan sekedar acara seremonial namun juga menjadi tongak berjalannya peradaban baru yang sesuai dengan konsep rahmatan lil a’alamin. Disinilah perlu ditemukan ramuan khusus yang bisa memberikan efek untuk kembali membangkitkan semangat belajar menuntut ilmu terlebih dahulu. Melalui semangat belajar, setidaknya ada jalan untuk mengawali cara berproses menjadi lebih baik. Maka Nuzulul Qur’an ini perlu menjadi spirit membaca peradaban, yakni dengan;
Pertama, membaca kitab Mulia. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al-Alaq ayat 1 -5: “Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptkan. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah yang Maha Pemurah. Yang mengajar manusia dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan manusia apa yang tidak diketahuinya.” Membaca ini diawali dengan aktifitas membaca buku ataupun segala informasi yang didalamnya terdapat pengetahuan. Dan tentu pedoman umat islam yakni Al-Qur’an sebagai makhluk bernyawa yang memberikan garis kehidupan sebagai pegangan umat manusia. Jika kita telah melepas Al-Qur’an maka akan lepas juga kehidupan yang lebih baik
Kedua, membaca peradaban, hal ini dilakukan untuk mengetahui peradaban masa silam dan semangat giatnya orang dahulu untuk belajar dan menimba ilmu. Kita ketahui Soekarno saja sejak remaja gemar sekali mebaca buku-buku filsafat Voltaire, Rousseau, Karl Marx maupun Lenin. Begitu juga dengan Muhammad Hatta, yang memiliki perpustakaan pribadi dan mampu menguasai 4 bahasa asing. Melalui kegiatan membaca peradaban setidaknya ada keinginan untuk bisa menguasai bahasa, karena dengan bahasa manusia bisa berinteraksi dan membaca karya-karya asing.
Ketiga, membaca kehidupan, dalam artian bahwa manusia harus memiliki kepekaan diri dan sosial sehingga ia bisa merasakan kehidupannya tidak hanya untuk dirinya melainkan ada orang lain disekitarnya. iDi tengah wabah virus corona ini kita sedang diuji untuk tetap bertahan, sabar dan ikhlas dalam menerima keadaan dan tentunya tetap semangat untuk berusaha menjadi lebih baik. Sehingga diharapkan memiliki sikap dan perilaku yang sesuai dengan ajaran Al-Qur’an dalam menghadapi pandemi Covid-19 atau wabah pagebluk ini.
Apalah arti jika nuzulul qur’an tanpa makna, begitupun juga apalah arti bangsa indonesia melalaui lembaga dan programnya untuk memperbaiki kehidupan berbangsa dan bernegara. Di bangunnya perpustakaan-perpustakaan sekolah, umum maupun daerah dan beragam program Rumah Pintar, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat dan Taman Baca Masyarakat. Jika manusianya tidak memiliki minat dan kegemaran membaca. Saatnyalah menyadari akan diri kita, bahwa ada momentum penting di malam 17 ramadhan ini yakni perintah untuk “membaca”. (Luk/Red)